Tata Cara Qunut Witir Ramadhan
Oleh : Ustadz DR. Firanda Andirja Abidin, Lc MA
Download PDF
Pertama : Hukum qunut witir
Qunut witir disunnahkan menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama([1]). Telah datang dari perbuatan Nabi shallallahu álaihi wasallam([2]) dan Nabi pernah mengajarkannya kepada cucu beliau al-Hasan bin Áli, yang menunjukan bahwa Qunut al-Witir disyariátkan. Al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma berkata:
عَلَّمَنِي رَسُولُ صَلَّى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: – «اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkanku do’a untuk aku baca ketika qunut witir-: “Ya Allah, berilah aku petunjuk diantara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan diantara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku diantara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau putuskan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan perkara atasMu, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi”. ([3])
Demikian juga telah datang dari para sahabat bahwa mereka qunut tatkala witir.
Kedua : Kapan disunnahkan qunut witir?
Asalnya qunut witir disunnahkan sepanjang tahun bukan hanya dikhususkan bulan Ramadhan menurut pendapat mayoritas ulama([4]), dan tentunya jika di tengah bulan Ramadhan maka semua sepakat akan dianjurkannya. Ibnu Taimiyyah berkata:
وَأَمَّا الْقُنُوتُ فِي الْوِتْرِ فَهُوَ جَائِزٌ وَلَيْسَ بِلَازِمٍ، فَمِنْ أَصْحَابِهِ مَنْ لَمْ يَقْنُتْ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَنَتَ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ مِنْ رَمَضَانَ، وَمِنْهُمْ مَنْ قَنَتَ السَّنَةَ كُلَّهَا. وَالْعُلَمَاءُ مِنْهُمْ مَنْ يَسْتَحِبُّ الْأَوَّلَ كَمَالِكٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَحِبُّ الثَّانِيَ كَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَحِبُّ الثَّالِثَ كَأَبِي حَنِيفَةَ، وَالْإِمَامِ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ، وَالْجَمِيعُ جَائِزٌ. فَمَنْ فَعَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَلَا لَوْمَ عَلَيْهِ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
“Adapun qunut witr, hukumnya boleh dan tidak harus. Karena sebagian sahabat Nabi ada yang tidak qunut, dan ada dari mereka yang qunut di setengah akhir Ramadhan ([5]), serta ada dari mereka yang qunut sepanjang tahun. Para ‘ulama diantara mereka ada yang menganjurkan yang pertama, seperti Malik, ada yang menganjurkan yang kedua, seperti As-Syafi’i, dan ada yang menganjurkan yang ketiga, seperti Abu Hanifah dan imam Ahmad dalam satu riwayat dari beliau. Dan kesemuanya adalah boleh. Siapa saja yang melakukan salah satu dari semua itu, maka tidak ada celaan baginya. Wallahu a’lam”. ([6])
Ketiga : Qunut dibaca dikerjakan pada rakaát witir yang terakhir, setelah bangkit dari ruku’ (setelah membaca doa i’tidal), namun boleh juga membaca doa qunut sebelum ruku’ ([7]). Hal ini karena telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu álaihi wasallam bahwa beliau pernah qunut (baik qunut subuh ataupun qunut nazilah) sebelum ruku’ maupun sesudah ruku’. Demikian juga praktik para sahabat, sebagian mereka qunut witir sebelum ruku’ dan sebagian yang lain qunut witir setelah ruku([8]).
Keempat : Lafal-Lafal Doa Qunut Witir
Pertama : Lafal yang diajarkan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam kepada Al-Hasan bin Ali :
«اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ»
“Ya Allah, berilah aku petunjuk diantara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan diantara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku diantara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau putuskan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan perkara atasMu, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi”. ([9])
Namun jika seorang menjadi imam maka kata gantinya (dhomir) dari kata ganti tunggal (aku) diganti dengan kata ganti plural “kami”. An-Nawawi berkata :
قَالَ أَصْحَابُنَا فَإِنْ كَانَ إمَامًا لَمْ يَخُصَّ نَفْسَهُ بِالدُّعَاءِ بَلْ يُعَمِّمُ فَيَأْتِي بِلَفْظِ الْجَمْعِ اللَّهُمَّ اهْدِنَا إلَى آخِرِهِ
“Para ulama madzhab Syafií mengatakan jika seseorang menjadi imam maka janganlah dia mengkhususkan doa untuk dirinya, akan tetapi dia jadikan doa untuk umum, maka ia berdoa dengan lafal plural, Allahummah dinaa….dst” ([10])
Kedua : Doanya Ubay bin Kaáb:
‘Abdurrahman bin ‘Abdil Qori: beliau meriwayatkan sejarah ‘Umar bin Al Khotthob mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih secara berjamaah dengan satu imam, yaitu Ubay bin Ka’b, dan diantaranya:
فَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ، وَكَانُوا يَلْعَنُونَ الْكَفَرَةَ فِي النِّصْفِ: اللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ وَيُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَلَا يُؤْمِنُونَ بِوَعْدِكَ، وَخَالِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ، وَأَلْقِ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ، وَأَلْقِ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ، إِلَهَ الْحَقِّ، ثُمَّ يُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَدْعُو لِلْمُسْلِمِينَ بِمَا اسْتَطَاعَ مِنْ خَيْرٍ، ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ قَالَ: وَكَانَ يَقُولُ إِذَا فَرَغَ مِنْ لَعْنَةِ الْكَفَرَةِ، وَصَلَاتِهِ عَلَى النَّبِيِّ، وَاسْتِغْفَارِهِ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَمَسْأَلَتِهِ: اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، وَنَرْجُو رَحْمَتَكَ رَبَّنَا، وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدَّ، إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحِقٌ ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَهْوِي سَاجِدًا
“Dan orang-orang melaksanakan shalat tarawih di awal malam, dan mereka melaknat orang-orang kafir pada pertengahan (Ramadhan): “Ya Allah ‘Azza wa Jalla, perangilah orang-orang kafir yang menghalangi orang-orang dari jalanMu dan mendustakan RasulMu, dan tidak beriman dengan janjiMu, dan cerai beraikanlah persatuan mereka, dan masukkanlah rasa takut ke adalam hati mereka, dan timpakanlah kepada mereka adzabMu, wahai Tuhan yang Maha Benar. Kemudian ia bershalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin dengan yang ia mampu dari kebaikan-kebaikan, kemudian memintakan ampun untuk orang-orang mukmin. Ia (perowi) berkata. Dan ia ketika selesai mendoakan laknat untuk orang kafir, dan sholawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan permintaan ampunnya untuk orang-orang mukmin dan mukminat dan permintaan-permintaannya, beliau berdoa: Ya Allah ‘Azza wa Jalla, kepadaMulah kami beribadah, dan kepadaMulah kami shalat dan sujud, dan kepadaMulah kami melangkah dan bersegera, kami mengharapkan rahmatMu, dan kami takut akan adzabMu yang keras, sesungguhnya adzabMu sungguh benar-benar akan menimpa orang yang memusuhiMu kemudian ia takbir dan menunduk menuju sujud”. ([11])
Ketiga : Doa Qunutnya Umar bin al-Khottob. ’Ubaid bin ‘Umair meriwayatkan:
صَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ الْغَدَاةَ، فَقَالَ فِي قُنُوتِهِ: اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِي عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلَا نَكْفُرُكَ، وَنَخْلَعُ وَنَتْرُكُ مَنْ يَفْجُرُكَ، اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي، وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، وَنَرْجُو رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكُفَّارِ مُلْحِقٌ
“Aku pernah shalat di belakang ‘Umar bin Al Khotthob pada shalat subuh dan beliau membaca ketika qunut: (ya Allah ‘Azza wa Jalla, kami memohon perlindungan kepadaMu, dan kami memohon ampun kepadaMu, dan kami tidak kufur kepadaMu, dan kami meninggalkan orang-orang yang bermaksiat kepadaMu, Ya Allah ‘Azza wa Jalla, kepadaMulah kami beribadah, dan kepadaMulah kami shalat dan sujud, dan kepadaMulah kami melangkah dan bersegera, kami mengharapkan rahmatMu, dan kami takut akan adzabMu yang keras, sesungguhnya adzabMu sungguh benar-benar akan menimpa orang yang memusuhiMu”. ([12])
Meskipun ini adalah doa di qunut subuh akan tetapi para ulama mengqiaskan sehingga boleh juga dibaca di qunut witir ([13]).
Baca Artikel Terkait:
Kelima : Boleh berdoa dengan doa apa saja ketika qunut witir
Telah lalu bahwa dianjurkan untuk berdoa dengan 3 doa di atas (doa yang diajarkan Nabi kepada al-Hasan, doa Ubay bin Kaáb, dan doa Umar bin al-Khottob). Akan tetapi seseorang ingin berdoa dengan doa yang lain juga maka tidak mengapa.
An-Nawawi berkata :
واعلم أن القنوت لا يتعين فيه دعاء على المذهب المختار، فأيّ دعاء دعا به حصل القنوت ولو قَنَتَ بآيةٍ، أو آياتٍ من القرآن العزيز وهي مشتملة على الدعاء حصل القنوت، ولكن الأفضل ما جاءت به السنّة
“Ketahuilah bahwasanya tidak ada doa tertentu yang harus dibaca ketika qunut menurut pendapat yang terpilih, maka dengan doa apapun maka telah dilakukan qunut, bahkan meski hanya qunut dengan membaca satu ayat atau beberapa ayat dari al-Qurán yang mengandung makna doa maka telah terjadi qunut, akan tetapi yang lebih afdol adalah dengan doa yang datang dalam sunnah” ([14])
Keenam : Shalawat kepada Nabi di akhir qunut
Disunnahkan untuk bershalawat kepada Nabi ketika qunut([15]), berdasarkan doa qunut yang dibaca oleh Ubay bin Kaáb. Disebutkan
وَكَانَ يَقُولُ إِذَا فَرَغَ مِنْ لَعْنَةِ الْكَفَرَةِ، وَصَلَاتِهِ عَلَى النَّبِيِّ، وَاسْتِغْفَارِهِ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَمَسْأَلَتِهِ: اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ…
“Dan ia ketika selesai mendoakan laknat untuk orang kafir, dan sholawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan permintaan ampunnya untuk orang-orang mukmin dan mukminat dan permintaan-permintaannya, beliau berdoa: Ya Allah ‘Azza wa Jalla, kepadaMulah kami beribadah…”
Ketujuh : Imam mengeraskan suara ketika berdoa dalam qunut dan makmum mengaminkan
Seseorang dianjurkan untuk mengeraskan suara ketika qunut, baik dia menjadi imam ataupun shalat sendiri. Namun jika dia makmum, maka dia cukup mengamini saja, dan jika tidak mendengar, dia tidak membaca.
Al-Mardawi al-Hanbali berkata:
يُؤمنُ المأْمومُ ولا يقنُتُ. على الصحيح مِنَ المذهبِ…يجْهَرُ المُنْفرِدُ بالقنوتِ كالإمامِ. على الصحيح مِنَ المذهبِ
“Makmum mengamini dan tidak qunut, menurut pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Hanbali, …dan orang yang shalat sendiri juga mengeraskan suaranya sebagaimana imam”. ([16])
Kedelapan : Mengangkat tangan ketika qunut
Disunnahkan mengangkat tangan ketika membaca doa qunut([17]). Anas bin Malik berkata :
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو عَلَيْهِمْ
“Sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setiap shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya mendoakan keburukan untuk mereka”. ([18])
Sebagaimana disyariatkan dalam qunut subuh, maka demikan juga pada qunut witir.
Demikian juga ‘Abdurrahman bin Samuroh berkata:
فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ قَائِمٌ فِي الصَّلَاةِ رَافِعٌ يَدَيْهِ، فَجَعَلَ يُسَبِّحُ، وَيَحْمَدُ، وَيُهَلِّلُ، وَيُكَبِّرُ، وَيَدْعُو
“Maka aku mendatangi Rasulullah sedang beliau sedang shalat sambil mengangkat tangannya, kemudian beliau bertasbih, dan bertahmid, dan bertahli, dan bertakbir, dan berdoa.” ([19])
Hadits ini menunjukkan bahwa jika ada doa dalam shalat dalam kondisi berdiri maka mengangkat tangan, dan keumuman hadits ini mencakup kondisi qunut yang dalam kondisi berdiri.
Demikian juga Rasulullah bersabda :
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ، يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ، أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
“Sesungguhnya Rabb kalian Tabaroka Wata’ala maha Pemalu dan Mulia, ia malu jika ada hambanya yang memngangkat tangannya berdoa kepadanya, kemudian ia mengembalikannya dengan kosong (tidak mengabulkannya)”. ([20])
Ini menunjukan bahwa hukum asal dalam berdoa adalah dengan mengangkat tangan, kecuali ada dalil yang menunjukan tidak perlu mengangkat tangan.
Kesembilan : Mengaminkan imam
Disunnahkan mengaminkan imam ketika qunut witir([21]). Ibnu ‘Abbas berkata :
إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ، يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ، عَلَى رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ
“Dan jika ia membaca “Sami’allahu liman hamidah” pada rakaat terakhir (shalat lima waktu -karena ini qunut nazilah-) beliau mendoakan keburukan untuk bani Sulaim, Ri’l, Dzakwan, ‘Ushoyyah, dan sahabt-sahabat yang dibelakang mengaminkannya”. ([22])
Dan sama saja nazilah atau witir, karena sama-sama qunut. Demikian juga jika makmum mengaminkan berarti makmum juga ikut berdoa, karena yang mengaminkan kedudukannya sama dengan yang berdoa langsung([23]).
Kesepuluh : Jika imam memuji Allah dalam qunut (tidak sedang berdoa) maka makmum boleh mengikuti atau diam.
Diantara kesalahan para makmum adalah mengaminkan semua yang dikatakan oleh imam dalam doa qunutnya. Padahal dalam doa qunut ada lafal-lafal dimana maknanya bukan doa permohonan, akan tetapi pujian kepada Allah. Sebagai contoh doa qunut yang ma’ruf kandungannya terbagi dua:
Pertama adalah doa, yaitu :
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ
Yang kedua adalah pujian dan sanjungan kepada Allah dan bukan permohonan, yaitu :
إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Untuk yang bagian kedua maka tidak layak untuk diamini. An-Nawawi berkata :
وَأَمَّا الثَّنَاءُ وَهُوَ قَوْلُهُ فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ إلَى آخِرِهِ فَيُشَارِكُهُ فِي قَوْلِهِ أَوْ يَسْكُتُ وَالْمُشَارَكَةُ أَوْلَى لِأَنَّهُ ثَنَاءٌ وَذِكْرٌ لَا يَلِيقُ فِيهِ التَّأْمِينُ
“Adapun pujian kepada Allah (bukan sedang berdoa) yaitu perkataan imam فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ dan seterusnya, maka makmum mengikuti imam dalam ucapannya tersebut, atau makmum diam. Dan mengikuti lebih utama, karena itu adalah pujian dan dzikir, dan tidak layak untuk diaminkan” ([24])
Abu Daud berkata :
قِيلَ لِأَحْمَدَ: قَالَ: «اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ وَنَسْتَغْفِرُكَ» يَقُولُ مَنْ خَلْفَهُ: آمِينَ؟، قَالَ: يُؤَمِّنُ فِي مَوْضِعِ التَّامِينِ
“Ditanyakan kepada Imam Ahmad, imam berkata, “Ya Allah kami beristi’anah kepadaMu dan memohon ampunanMu”, apakah makmum mengucapkan “aamiin”?. Imam Ahmad berkata, “Makmum mengaminkan pada kondisi yang butuh diaminkan” ([25])
Sebagian ulama memandang boleh bagi makmum untuk bertasbih ketika imam sedang memuji Allah dalam qunutnya([26]).
Kesebelas : Tidak perlu mengusap wajah setelah doa qunut.
Ini adalah pendapat yang terkuat, karena tidak ada dalil yang menganjurkan untuk mengusap wajah setelah qunut, dan tidak juga datang pengamalan para sahabat akan hal ini. An-Nawawi berkata :
لَا يَمْسَحُ وَهَذَا هُوَ الصَّحِيحُ صَحَّحَهُ الْبَيْهَقِيُّ وَالرَّافِعِيُّ وَآخَرُونَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ قَالَ الْبَيْهَقِيُّ لَسْتُ أَحْفَظُ فِي مَسْحِ الْوَجْهِ هُنَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ السَّلَفِ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ يُرْوَى عَنْ بَعْضِهِمْ فِي الدُّعَاءِ خَارِجَ الصَّلَاةِ فَأَمَّا فِي الصَّلَاةِ فَهُوَ عَمَلٌ لَمْ يثبت فيه خبر ولا أثر ولا قياس فَالْأَوْلَى أَنْ لَا يَفْعَلَهُ وَيُقْتَصَرَ عَلَى مَا نَقَلَهُ السَّلَفُ عَنْهُمْ مِنْ رَفْعِ الْيَدَيْنِ دُونَ مَسْحِهِمَا بِالْوَجْهِ فِي الصَّلَاةِ
“Tidak mengusap wajahnya. Inilah pendapat yang benar, dibenarkan oleh Al-Baihaqi, Ar-Rofi’I dan selain mereka dari para muhaqqiq (ahli dan peneliti). Al-Baihaqi berkata, “Aku tidak mendapati adanya periwayatan sedikitpun tentang mengusap wajah dalam qunut dari satupun para salaf. Meskipun ada diriwayatkan dari sebagian mereka mengusap wajah ketika berdoa di luar shalat. Adapun di dalam shalat maka dia adalah amalan yang tidak shohih satupun hadits dan atsar tentangnya dan juga tidak dengan qiyas. Dan yang lebih baik adalah tidak melakukannya dan mencukupkan diri dengan yang dilakukan oleh para salaf dengan mengangkat tangan tanpa mengusap wajahnya di dalam shalat”. ([27])
Kedua belas : Imam jangan baca doa qunut kelamaan sehingga menyusahkan para makmum
Diantara kesalahan sebagian imam tarawih adalah terlalu lama membaca doa qunut sehingga menyusahkan jama’ah, bahkan ada yang sampai doa qunut selama setengah jam. Doa yang diajarkan Nabi shallallahu álaihi wasallam kepada al-Hasan pendek, demikian juga doa yang dibaca oleh Umar maupun Ubay bin Kaáb juga doa yang pendek. Jikapun digabungkan ketiga-tiganya maka itupun hanya beberapa menit, apalagi jika dibaca salah satu aja. Dan sebaik-baik ibadah adalah yang dicontohkan oleh para salaf, karenanya para ulama menyatakan bahwa memanjangkan qunut hukumnya makruh.
An-Nawawi berkata :
قَالَ الْبَغَوِيّ يُكْرَهُ إطَالَةُ الْقُنُوتِ كَمَا يُكْرَهُ إطَالَةُ التَّشَهُّدِ الْأَوَّل
“al-Baghowi berkata : Makruh memperpanjang qunut sebagaimana dimakruhkan memperpanjang tasyahhud awal” ([28])
Karenanya hendaknya para imam membaca doa qunut dengan waktu yang tidak kelamaan, jika doa qunut masih kurang dari lima menit insya Allah para jamaáh masih kuat, adapun jika sampai 10 menit, apalagi 20 menit hingga 30 menit maka itu tentu sangat memberatkan para makmum.
Ceger, Jakarta Timur, 17 Ramadhan 1441 M (10 Mei 2020)
(Penulis dibantu oleh murid penulis, semoga Allah membalas kebaikannya di akhirat dan mengikhlaskan niatnya)
Artikel juga dipublish di Bekalislam.com
_____________
Footnote:
([1]) Para ‘ulama berselisih tentang hukum qunut witir menjadi 4 pendapat:
Pertama : Qunut witir hukumnya wajib, dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh madzhab Hanafi.
Berkata Ibnu ‘Abidin Al Hanafi:
الْقُنُوتُ وَاجِبٌ عِنْدَهُ سُنَّةٌ عِنْدَهُمَا كَالْخِلَافِ فِي الْوِتْرِ كَمَا فِي الْبَحْرِ وَالْبَدَائِعِ، لَكِنَّ ظَاهِرَ مَا فِي غُرَرِ الْأَفْكَارِ عَدَمُ الْخِلَافِ فِي وُجُوبِهِ عِنْدَنَا، فَإِنَّهُ قَالَ: الْقُنُوتُ عِنْدَنَا وَاجِبٌ.
“Qunut itu wajib menurut beliau (Abu Hanifah), dan sunnah menurut mereka berdua (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan As-Syaibani), sama seperti perselisihan mereka dalam masalah hukum witir itu sendiri, sebagaimana di kitab Al-Bahr Ar-Roiq dan Badai’ As-Shonai’, akan tetapi yang zhohir dalam kitab Ghuror Al-Afkar: Tidak adanya perselisihan tentang kewajibannya dalam madzhab kami, karena penulisnya berkata : Qunut menurut madzhab kami adalah wajib” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/6). Dan yang dimaksud adalah wajibnya doa qunut (Lihat Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/6)
Kedua : Qunut witir hukumnya sunnah, dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh mayoritas ‘ulama. Dan ini adalah pendapt yang lebih kuat. Wallahu a’lam.
Ketiga : Qunut witir makruh. Dan ini adalah madzhab Maliki.
Berkata Al-Khurosyi
وَالظَّاهِرُ أَنَّ حُكْمَ الْقُنُوتِ فِي غَيْرِ الصُّبْحِ الْكَرَاهَةُ
“Dan yang zhohir bahwa hukum qunut pada selain shalat subuh adalah makruh” (Syarh Mukhtashor Kholil, Al-Khurosyi, 1/282).
Namun jika dilakukan qunut pada witir dan yang lainnya, tidak batal shalatnya (Lihat As-Syarh Al-Kabir, Ad-Dardiir, 1/248).
Keempat : Qunut witir adalah bid’ah. Dan pendapat ini dinukilkan dari Al Hasan Al Bashri. (Lihat : Al Majmu’, An-Nawawi, 4/24)
Adapun yang dijadikan dalil oleh madzhab Hanafi yaitu riwayat tambahan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Hasan bin ‘Ali:
اجْعَلْ هَذَا فِي وِتْرِك
“Jadikanlah/bacalah do’a ini pada shalat witirmu”.
Yang menunjukan akan diwajibkannya, maka riwayat ini tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang menjadi patokan. Sehingga riwayat ini adalah riwayat yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. (Lihat penjelasan Az-Zailaí di Nashb Ar-Rooyah 2/125 dan Ibnu Hajar di Ad-Dirooyah Fi Takhriij Al-Hidayah 1/194)
([2]) Diriwayatkan dari Ubai bin Ka’b beliau berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، «كَانَ يُوتِرُ فَيَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ»
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallah, ia shalat witir kemudian ia qunut sebelum ruku’”. (H.R. Abu Dawud, No.1472, Ibnu Majah, No.1182). Namun hadits ini diperselisihkan oleh para ulama akan keabsahannya. Hadit ini dinilai dho’if (lemah) oleh Ibnu Al Mulaqqin, dan beliau menukilkan dari Abu Dawud (Dan Abu Dawud berbicara panjang tentang permasalahan hadits ini dalam sunannya), dan Ibnu Al Mundzir, dan Ibnu Khuzaimah. (Lihat Al Badr Al-Munir, Ibn Al Mulaqqin, 4/330). Namun hadits ini dinilai shohih oleh syaikh Al Albani (Lihat Irwa Al Gholil, No.426) dan juga Syuáib al-Arnauth (dalam tahqiq Sunan Ibni Majah).
([3]) H.R. Ahmad, No.1718, Abu Dawud No.1425, dan At-Tirmidzi, No.464,
([4]) Dalam masalah ini para ‘ulama berselisih menjadi dua pendapat:
Pertama : Disyari’atkan membaca do’a qunut witir kapan saja, tidak dipatok dengan waktu tertentu. Dan ini adalah pendapat mayoritas ‘ulama, madzhab Hanafi, Hanbali, dan salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’i. Dan diriwayatkan dari beberapa salaf radhiallahu ‘anhu, seperti Ibnu Mas’ud, Annakho’i, Al Hasan Al Bashri. (Lihat Tabyin Al-Haqoiq, Azzaila’i 1/170, Al-Inshof, Al-Mardawi 4/124, Tuhfah Al-Muhtaj, Ibnu Hajar Al-Haitami 2/230)
Kedua : Qunut disukai pada setengah Ramadhan terakhir. Dan ini adalah pendapat madzhab Syafi’i, dan salah satu riwayat dari imam Ahmad.
An-Nawawi berkata :
قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الْمَشْهُورَ مِنْ مَذْهَبِنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الْقُنُوتُ فِيهِ فِي النِّصْفِ الْأَخِيرِ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ خَاصَّةً وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَابْنُ عُمَرَ وَابْنُ سِيرِينَ
“Sebagaimana telah disebutkan bahwa yang masyhur dari madzhab kami (Syafi’i) adalah dianjurkan qunut pada shalat witir di setengah akhir Ramdhan secara khusus, dan Ibnu Mundzir menukilaknnya dari Ubay bin Ka’b dan Ibnu ‘Umar dan Ibnu Sirin” (Al-Majmu’, An-Nawawi 4/24)
Al-Mardawi Al-Hanbali berkata :
وعنه، لا يقنتُ إلَّا في نِصْفِ رمضان الأخيرِ
“Dan diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwsanya tidak qunut kecuali pada setengah akhir Ramadhan” (Al-Inshof, Al Mardawi, 4/124. Hanya saja beliau menukilakan setelah itu bahwasanya imam Ahmad telah ruju’ dari pendapat ini)
([5]) Karena Ubay bin Ka’b radhiallahu baru qunut di witir tatkala mengimami shalat tarawih di zaman Umar bin al-Khottob setelah lewat setengah Ramadhan.
([7]) Para ‘ulama berselisih pada qunut dibaca setelah atau sebelum ruku’ menjadi dua pendapat.
Pertama : Qunut dibaca sebelum ruku’. Dan ini adalah pendapat yang dipegang oleh madzhab Hanafi dan Maliki. (Akan tetapi bagi Maliki hanya pada qunut subuh, karena mereka memandang makruhnya qunut selain di shalat subuh). (Lihat Badai’ As-Shonai’, Al-Kasani 1/273, Asy-Syarh Al-Kabir, Ad-Dardir 1/248)
Kedua : Qunut dibaca setelah ruku’. Dan ini adalah pendapat madzhab Syafi’i (Lihat Al-Majmu’, An-Nawawi 4/24) dan Hanbali. Bedanya dalam madzhab Hanbali tidak mengapa jika dibaca sebelum ruku’ dan tidak perlu sujud sahwi (Lihat Ar-Roudh Al-Murbi’, Al Buhuti 1/113), adapun dalam madzhab Syafi’i disayariátkan melakukan sujud sahwi (Lihat Tuhfah Al-Muhtaj, Ibnu Hajar Al Haitami 2/177).
Wallahu a’lam pendapat yang lebih kuat bahwasanya qunut (baik qunut subuh maupun qunut witir ataupun qunut nazilah) maka boleh dikerjakan sebelum ruku’ maupun sesudah ruku’. Dan ini adalah dzohir dari pendapat al-Imam al-Bukhari, beliau berkata , بَابُ القُنُوتِ قَبْلَ الرُّكُوعِ وَبَعْدَهُ (Bab: Qunut sebelum ruku’ dan sesudahnya).
([8]) Diantara sahabat yang qunut witir sebelum ruku’ adalah Ibnu Masúd, ‘Alqomah berkata :
أَنَّهُ كَانَ يَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ وَأَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْنِي فِي الْوِتْرِ
“Abdullah bin Mas’ud qunut sebelum ruku’ dan para sahabat radhiallahu ‘anhum juga demikian, yaitu: pada shalat witir” (H.R. At-Thohawi, Syarh Musykil Al-Atsar, No.4500).
Diantara sahabat yang qunut setelah ruku’ adalah Abu Bakar, Umar bin al-Khottob, Utsman bin Áffan, dan Ubay bin Kaáb.
Abu Rofi’ dan Abu Qotadah berkata :
صَلَّيْنَا خَلْفَ عُمَرَ الْفَجْرَ فَقَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ
“Kami shalat di belakang ‘Umar di shalat subuh, dan beliau qunut setelah ruku’” (H.R. Abdurrazzaq, No.4980).
Al-‘Awwam bin Hamzah berkata:
سَأَلْتُ أَبَا عُثْمَانَ عَنْ الْقُنُوتِ، فَقَالَ: «بَعْدَ الرُّكُوعِ»، فَقُلْتُ: عَمَّنْ؟ فَقَالَ: «عَنْ أَبِي بَكْرٍ، وَعُثْمَانَ»
“Aku bertanya kepada Abu ‘Utsman tentang qunut. Beliau menjawab: “Setelah ruku’”, aku (Ibnu Hamzah) bertanya : dari siapa? Dia (Abu Útsman) menjawab: dari Abu Bakr dan ‘Utsman (H.R. Ibnu Abi Syaibah, No.7012).
Ubay bin Kaáb ketika mengimami shalat tarawih di zaman Umar bin al-Khottob. (H.R. Ibnu Khuzimah, No.1100. Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Qiyam Romadhan Wa Fadhlihi Wa Kaifiyat Adaihi…, hal.31. Syu’aib Al-Arnauth berkata: “Dan Ibnu Hajar membawakan doa ini melalui kitab Al Fawaid karya Abu Al Hasan bin Zuroiq, dan beliau menghasankan sanadnya. Kami mengatakan: dan sanad Ibnu Khuzimah lebih bagus dan lebih tinggi dari riwayat Ibnu Zuroiq. Takhrij Sunan Abi Dawud, No.1428)
([9]) H.R. Ahmad, No.1718, Abu Dawud No.1425, dan At-Tirmidzi, No.46
([10]) Al-Majmuu’, An-Nawawi 3/496-497
([11]) H.R. Ibnu Khuzimah, No.1100. hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Qiyam Romadhan Wa Fadhlihi Wa Kaifiyat Adaihi…, hal.31. dan berkata syaikh Syu’aib Al Arnauth: “dan Ibnu Hajar membawakan doa ini melalui kitab Al Fawaid karya Abu Al Hasan bin Zuroiq, dan beliau menghasankan sanadnya. Kami mengatakan: dan sanad Ibnu Khuzimah lebih bagus dan lebih tinggi dari riwayat Ibnu Zuroiq. Takhriz Sunan Abi Dawud, No.1428
([12]) H.R. Ibnu Abi Syaibah, No.7027, ‘Abdurrazzaq, No.4969. dishohihkan oleh Al Baihaqi.
([13]) Dalam madzhab Syafi’i doa qunut witir sama dengan doa qunut subuh. An-Nawawi berkata:
قَالَ أَصْحَابُنَا لَفْظُ الْقُنُوتِ هُنَا كَهُوَ فِي الصُّبْحِ
“Berkata ‘ulama madzhab kami (Syafi’i): lafazh qunut di sini (witir) sama dengan qunut ketika subuh” (Al Majmu’, An-Nawawi 4/16)
Hanya saja para ulama madzhab Syafi’i berbeda pandangan diantara mereka tentang manakah yang lebih didahulukan? Doa qunutnya ‘Umar atau “Allahummahdina fiman hadaita”?
Terdapat dua wajh dalam madzhab Syafi’i. Yang masyhur dalam madzhab Syafi’i adalah mendahulukan do’a ‘Umar bin Al Khotthob. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ar-Ruyani dan beliau berkata: inilah amalan yang sudah berlaku. (Lihat : Al-Majmu’, An-Nawawi, 4/16), dan ini juga adalah madzhab Hanafi. (Al-Mabsuth, As-Sarokhsi 1/165).
Adapun imam An-Nawawi memilih dan menguatkan pendapat lebih mendahulukan doa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kemudian meneruskan dengan doa yang datang dari ‘Umar bin Al-Khottob karena doa Nabi lebih didahulukan. (Lihat Al-Majmu’, An-Nawawi 4/16), sementara doa ‘Umar tidak datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi ‘Umar berinisiatif sendiri. (Tuhfah Al Muhtaj, Ibnu Hajar Al-Haitami, 2/231)
Dalam madzhab Hanbali: Ketika qunut witir membaca doa Umar dan doa al-Hasan.
Al-Mardawi berkata :
اعلمْ أنَّ الصحيح مِنَ المذهب، أنَّه يدْعُو في القنوتِ بذلك كله
“Ketahuilah bahwa yang mu’tamad dalam madzhab Hanbali adalah: Seseorang yang shalat witir berdoa dengan semua doa tersebut” (Al-Inshof, Al-Mardawi 4/127).
Namun untuk doa doanya Umar maka dimulai dari اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ (Lihat : Lihat Muntaha Al Irodat, Ibnu Najjar 1/266-267)
([14]) Al-Adzkaar, An-Nawawi hal 136.
An-Nawawi juga berkata :
فَقَدْ حَكَى الْقَاضِي عِيَاضٌ اتِّفَاقَهُمْ عَلَى أَنَّهُ لَا يَتَعَيَّنُ فِي الْقُنُوتِ دُعَاءٌ
“Al-Qodhi Íyadh telah menghikayatkan bahwasanya para ulama sepakat bahwa tidak ada doa tertentu yang harus dibaca ketika qunut” (Al-Majmu’ 3/497)
Ini juga pendapat madzhab al-Hanbali (Lihat al-Inshoof 2/171)
([15]) ini adalah madzhab Hanbali (Lihat Muntaha Al Irodat, Ibnu Najjar 1/267), dan yang shohih dalam madzhab Syafi’i (Lihat : Tuhfah Al Muhtaj, Ibnu Hajar Al Haitami, 2/231), dan salah satu pendapat dalam madzhab Hanafi (Lihat : Badai’ Asshonai’, Al Kasani, 1/274)
Peringatan :
Dalam sebagian riwayat hadits Al-Hasan bin ‘Ali, tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan beliau di akhirnya terdapat tambahan: وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ.
Namun tambahan ini diperselisihkan oleh para ulama, dishahihkan oleh an-Nawawi (Lihat Khulashoh Al-Ahkam, An-Nawawi, No.1507), namun yang lebih tepat bahwasanya tambahan tersebut adalah dho’if, didho’ifkan oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqolani (Lihat : At-Talkhish Al Habir, Ibnu Hajar, 1/448) dan Al- Albani (Lihat : Irwa Al-Gholil No.431), Karena hadits ini diriwayatkan melalui jalur ‘Abdullah bin ‘Ali dari Al Hasan bin ‘Ali. Dan ‘Abdullah bin ‘Ali tidak sempat bertemu dengan Al Hasan bin ‘Ali (Lihat : Tahdzib At-Tahdzib, 5/325 dan Tahdzib Al-Kamal, Al Mizzi, 15/321), maka hadits ini dho’if karena munqothi’ (terputus).
([16]) Al-Inshof, Al-Mardawi, 4/131
Adapun menurut madzhab Hanafi maka jika shalat sendiri maka ketika qunut bisa memilih antara menjaharkan atau mensirr-kan doa qunut tersebut (Lihat Badaai’ as-Shonaaí, al-Kaasaani 1/274).
Adapun menurut madzhab Syafií maka makmum dan munfarid (shalat sendiri) maka dianjurkan untuk membaca doa qunut dengan sir (perlahan) (Lihat Tuhfah Al Muhtaj, Ibnu Hajar Al Haitami, 2/67)
([17]) Dan ini adalah madzhab Hanbali dan yang shohih dalam madzhab Syafi’i, adapun madzhab Hanafi maka qunut tanpa mengangkat kedua tangan. Al-Kasani berkata :
ثُمَّ إذَا فَرَغَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حِذَاءَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ أَرْسَلَهُمَا ثُمَّ يَقْنُتُ.
“Kemudian jika dia sudah selesai dari membaca pada rakaat kedua, dia bertakbir dan mengangkat tangannya sejajar dengan telinganya kemudian ia meluruskannya kemudian ia membaca qunut” (Badai’ Asshonai’, Al Kasani, 1/273).
([18]) H.R. Atthobaroni, Al Mu’jam Al Ausath, No.3793, Abu ‘Awanah, Mustakhroj, 3793. Imam Annawawi mengatakan: “shohih atau Hasan” lihat Al Majmu’, 3/508. Dan Al ‘Iroqi menyatakan bahwa sanadnya jayyid. Lihat Takhrij Ihya ‘Ulumiddin, No.468
([20]) H.R. Abu Dawud, No.1488, Attirmidzi, No.3556
([21]) Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Ini adalah pendapat madzhab Hanbali (Lihat : Al-Inshof, Al-Mardawi 4/131), dan yang shohih dalam madzhab Syafi’i (Lihat : Tuhfah Al-Muhtaj, Ibnu Hajar Al Haitami 2/67), dan satu pendapat Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dari madzhab Hanafi, yaitu makmum tidak ikut membaca qunut tapi mengaiminkan imam (Lihat : Al-Bahr Ar-Roiq, Ibnu Nujaim 2/48).
Adapun madzhab Hanafi yang mu’tamad adalah makmum tidak mengaminkan akan tetapi makmum juga ikut baca qunut sendiri dengan suara yang lirih, sebagaimana imam juga membaca dengan lirih (Lihat : Tabyin Al-Haqoiq, Az-Zailaí 1/171)
([22]) Al-Majmu’, An-Nawawi 3/502
([23]) Ibnu Taimiyyah berkata, “Seperti doa qunut, sesungguhnya makmum jika mengaminkan (imam) maka ia sedang berdoa. Allah berfirman kepada Musa dan Harun, قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا “Dan sungguh telah dikabulkan doa kalian berdua”, padahal yang berdoa adalah salah satu dari mereka berdua, dan yang satunya hanya mengaminkan. Jika makmum mengaminkan doa imam maka hendaknya imam berdoa dengan lafal jamak sebagaimana dalam doa al-Fatihah اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ “Tunjukanlah kami jalan yang lurus”, karena makmum mengaminkan sebab dia meyakini bahwa imam berdoa untuk imam dan makmum. Jika imam tidak melakukannya (tidak menggunakan lafal jamak (kami)) maka sesungguhnya imam telah berkhianat kepada makmum” (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah 23/118)
([24]) H.R. Abu Dawud, No.1443. Dan dihasankan oleh syaikh Al Albani.
([25]) Masaail al-Imam Ahmad riwayat Abu Daud as-Sajistani hal 96
([26]) Ulama al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Bin Baaz berkata :
يشرع التأمين على الدعاء في القنوت، وعند الثناء على الله سبحانه يكفيه السكوت وإن قال: سُبْحَانَكَ أو سُبْحَانَهُ فلا بأس
“Disyariátkan untuk mengaminkan ketika doa qunut, dan ketika pujian kepada Allah maka cukup bagi makmum untuk diam, dan jika ia berkata, “سُبْحَانَكَ” atau “سُبْحَانَهُ” maka tidak mengapa. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah 7/49)
([27]) Al Majmu’, Annawawi, 3/501
Jadi ini adalah pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i, juga pendapat imam Malik, dan satu riwayat dari imam Ahmad (Lihat Al-Inshof, Al-Mardawi, 4/132). Bahkan Imam Malik memandangnya sebagai bidáh, baik mengusap wajah dalam shalat maupun di luar shalat. Ibnu Rusyd al-Jadd berkata :
وسئل مالك عن الرجل يمسح بكفيه وجهه عند الدعاء وقد بسطها قبل ذلك، فأنكر ذلك وقال: ما أعلمه.
إنما أنكر ذلك مالك – رَحِمَهُ اللَّهُ – لأنه رآها بدعة، إذ لم يأت بذلك أثر عن النبي – عَلَيْهِ السَّلَامُ -، ولا مدخل فيه للرأي
Dan Imam Malik ditanya tentang seseorang yang mengusap wajahnya dengan telapak tangannya setelah berdoa yang sebelumnya ia mengembangkannya. Dan beliaupun mengingkarinya dan berkata: “Aku tidak mengetahuinya”.
Imam Malik mengingkari yang demikian karena beliau menganggapnya bid’ah, karena tidak ada atsar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan perkara tersebut tidak bisa ditetapkan dengan sekedar akal” (Al-Bayan Wa At-Tahshil 18/49).
Kenyataannya ini adalah masalah khilafiyah, karenanya sebagian ulama memandang dianjurkan untuk mengusap wajah setelah berdoa qunut witir. Ibnu Najjar al-Hanbali berkata :
ثُمَّ يَمْسَحُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ هُنَا وَخَارِجَ الصَّلَاةِ
“Kemudian mengusap wajahnya dengan kedua tangannya di sini (qunut witir) dan di luar shalat” (Muntaha Al-Irodat, Ibnu Najjar 1/267).